Rabu, 22 Juni 2016

MENGENANG ARDAT DAN DULINAT



Pertengahan bulan Desember 1975 aku mulai meninggalkan Kandangan sesudah menyelesaikan sekolah di SMAN Kandangan. Selama masa sekolah di SMPN 1 Kandangan dan SMAN Kandangan, yang kuingat dalam bulan puasa antara lain adalah ardat dan acara “bagarakan sahur”. Ardat sering ditemui di kampung kami, Padang Panjang, mulai waktu sesudah sholah Isha sampai mendekati jam 12 malam di bulan puasa, sedangkan acara “bagarakan sahur” dimulai dengan persiapan sekitar jam 12 malam lewat sedikit dan pelaksanaannya dengan keliling kota Kandangan antara jam satu malam sampai jam empat subuh.
Beberapa kampung (mungkin dalam arti RW) yang ada di kota Kandangan dan sekitarnya pada tahun 1970-an para orang mudanya sebagiannya sengaja tidak tidur pada malam bulan puasa. Para wanita yang tidak tidur malam di bulan puasa karena berjualan makanan kecil di kampungnya, pembelinya adalah para pemuda di kampung sendiri dan dari kampung lain. Kampung yang sering dikunjungi para pemuda untuk belanja antara lain adalah Padang Panjang, Loklua, Teluk Mesjid, dan Pandai.
Minuman yang dijual pada malam bulan puasa di kampung sekitar kota Kandangan pada umumnya adalah teh, kopi, dan susu, sedangkan makanan kecil yang dijual umumnya barupa gorengan seperti kacang, keripik pisang, keripik gumbili (ubi kayu), tahu, tempe, gaguduh (pisang goreng), ardat (gumbili goreng), dulinat, dan lain-lain. Ada juga makanan yang tidak digoreng dijual pada malam bulan puasa yaitu pais pisang, pais waluh, pais sagu, dan kacang bajarang.
Sehabis sholat tarawih biasanya para orang tua laki-laki banyak yang datang ke tempat jualan para remaja untuk minum teh serta makan ardat dan dulinat. Selain itu, para orang tua tersebut sambil bercengkerama dengan para pemuda kampung sekali-sekali mengingatkan agar tidak lupa ikut kegiatan tadarus di surau. Para orang tua biasanya pulang ke rumah masing-masing sekitar jam 11 malam setelah kegiatan tadarus selesai.
Sedangkan para pemuda yang ikut tadarus, setelah selesai kembali ke tempat berjualan para remaja puteri untuk bercengkerama dengan para pemuda yang datang dari kampung lain sambil minum kopi serta makan ardat dan dulinat. Pertemanan antara para pemuda pendatang dengan para remaja dan pemuda kampung yang didatangi sering terjalin akrab melalui pertemuan di malam bulan puasa. Tidak terlalu lama memang masa bercengkerama dengan para pemuda pendatang karena para remaja puteri akan menutup tempat berjualannya ketika mendekati jam 12 malam.
Ardat dan dulinat merupakan makanan gorengan yang enak dimakan ketika masih panas dan bahan dasarnya adalah ubi kayu. Pengolahan ardat hingga dapat dimakan tidak serumit mengolah dulinat. Untuk membuat ardat, ubi kayu yang sudah dikupas kulitnya kemudian dibelah jadi dua dan dipotong-potong. Setelah itu potongan ubi kayu direndam dalam air garam sebentar sebelum digoreng. Ada pula yang sebelum menggoreng, ubi kayu tersebut disumap (eh ... dikukus) agar setelah digoreng rasa ubi kayu jadi agak renyah. Gorengan ubi kayu yang sudah masak sebelum dimakan dicelupkan ke petis. Makanan ini tahun 1970-an di Kandangan disebut ardat. Sedangkan cara membuat dulinat, ubi katu yang sudah dikupas kulitnya kemudian diparut. Hasil parutan ubi kayu kemudian dikepal yang didalamnya dimasukan gula merah, berikutnya digoreng. Dulinat dimakan tidak harus pakai petis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAKUTAN AWAN BINIAN

Waktu ulun tugas di luar Banjarmasin sekitar empat tahun, di malam hari kawan ulun para sopir colt pal enam nang guring gratis di ruma...