Pertengahan
bulan Desember 1975 aku mulai meninggalkan Kandangan sesudah menyelesaikan
sekolah di SMAN Kandangan. Selama masa sekolah di SMPN 1 Kandangan dan SMAN
Kandangan, yang kuingat dalam bulan puasa antara lain adalah ardat dan acara “bagarakan
sahur”. Ardat sering ditemui di kampung kami, Padang Panjang, mulai waktu sesudah
sholah Isha sampai mendekati jam 12 malam di bulan puasa, sedangkan acara
“bagarakan sahur” dimulai dengan persiapan sekitar jam 12 malam lewat sedikit
dan pelaksanaannya dengan keliling kota Kandangan antara jam satu malam sampai
jam empat subuh.
Beberapa
kampung (mungkin dalam arti RW) yang ada di kota Kandangan dan sekitarnya pada
tahun 1970-an para orang mudanya sebagiannya sengaja tidak tidur pada malam bulan
puasa. Para wanita yang tidak tidur malam di bulan puasa karena berjualan
makanan kecil di kampungnya, pembelinya adalah para pemuda di kampung sendiri
dan dari kampung lain. Kampung yang sering dikunjungi para pemuda untuk belanja
antara lain adalah Padang Panjang, Loklua, Teluk Mesjid, dan Pandai.
Minuman
yang dijual pada malam bulan puasa di kampung sekitar kota Kandangan pada
umumnya adalah teh, kopi, dan susu, sedangkan makanan kecil yang dijual umumnya
barupa gorengan seperti kacang, keripik pisang, keripik gumbili (ubi kayu), tahu, tempe, gaguduh (pisang goreng), ardat
(gumbili goreng), dulinat, dan
lain-lain. Ada juga makanan yang tidak digoreng dijual pada malam bulan puasa
yaitu pais pisang, pais waluh, pais sagu, dan kacang bajarang.
Sehabis
sholat tarawih biasanya para orang tua laki-laki banyak yang datang ke tempat
jualan para remaja untuk minum teh serta makan ardat dan dulinat. Selain itu,
para orang tua tersebut sambil bercengkerama dengan para pemuda kampung
sekali-sekali mengingatkan agar tidak lupa ikut kegiatan tadarus di surau. Para
orang tua biasanya pulang ke rumah masing-masing sekitar jam 11 malam setelah
kegiatan tadarus selesai.
Sedangkan
para pemuda yang ikut tadarus, setelah selesai kembali ke tempat berjualan para
remaja puteri untuk bercengkerama dengan para pemuda yang datang dari kampung
lain sambil minum kopi serta makan ardat dan dulinat. Pertemanan antara para
pemuda pendatang dengan para remaja dan pemuda kampung yang didatangi sering
terjalin akrab melalui pertemuan di malam bulan puasa. Tidak terlalu lama
memang masa bercengkerama dengan para pemuda pendatang karena para remaja
puteri akan menutup tempat berjualannya ketika mendekati jam 12 malam.
Ardat
dan dulinat merupakan makanan gorengan yang enak dimakan ketika masih panas dan
bahan dasarnya adalah ubi kayu. Pengolahan ardat hingga dapat dimakan tidak
serumit mengolah dulinat. Untuk membuat ardat, ubi kayu yang sudah dikupas
kulitnya kemudian dibelah jadi dua dan dipotong-potong. Setelah itu potongan
ubi kayu direndam dalam air garam sebentar sebelum digoreng. Ada pula yang
sebelum menggoreng, ubi kayu tersebut disumap (eh ... dikukus) agar setelah
digoreng rasa ubi kayu jadi agak renyah. Gorengan ubi kayu yang sudah masak
sebelum dimakan dicelupkan ke petis. Makanan ini tahun 1970-an di Kandangan
disebut ardat. Sedangkan cara membuat dulinat, ubi katu yang sudah dikupas
kulitnya kemudian diparut. Hasil parutan ubi kayu kemudian dikepal yang
didalamnya dimasukan gula merah, berikutnya digoreng. Dulinat dimakan tidak
harus pakai petis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar